TOP-LEFT ADS

Banyak Pelanggaran, MK Diminta Naikkan Standar Kode Etik


Harianpublik.com- Mahkamah Konstitusi (MK) sempat menjadi sorotan karena kasus suap yang membelit salah satu hakim konstitusinya yaitu Patrialis Akbar. Kasus ini menambah panjang daftar kasus yang terjadi di lembaga produk reformasi ini.

Pengamat hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan, MK harus meningkatkan kode etik yang lebih tinggi. Ia berpendapat, saat ini masih ditemukan beberapa pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim MK.

“Menurut saya, yang pertama, secara sistemik, kode etik harus lebih tinggi lagi. Setinggi-tingginya. Kalau sekarang kan KPK yang bisa dibilang standarnya paling tinggi. Jadi misalnya kebolehan mengikuti acara dari pihak-pihak berperkara di MK. Itu sangat tidak boleh. Ini sudah tidak boleh,” kata Bivitri di Jalan Tebet Dalam IV J No. 5B, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (2/4/2017).
Dia juga mengungkit ketika Ketua MK Arief Hidayat mengirimkan memo atau katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawas (Jamwas) Widyo Pramono pada medio April 2015. Bivitri beranggapan, sanksi lisan dari majelis Dewan Etik yang diberikan kepada Arief tidak sepadan.

“Dan masih ingat kan, Pak Ketua berikan katebelece untuk Jaksa Agung, untuk kerabatnya? Itu nggak kena sanksi etik yang menurut kami cukup berat. Padahal menurut kami, untuk seorang Hakim MK, itu sangat berat (pelanggarannya),” ujarnya.

Bivitri menambahkan, saat ini masih ditemui hakim MK yang masih sering bertemu dengan pihak berperkara. Menurutnya, seorang hakim konstitusi harus membatasi pertemuannya dengan pihak-pihak tersebut.

“Penguatan kode etik harus standarnya tinggi banget. Jadi orang yang jadi hakim MK itu harus ‘asosial’, nggak bisa dia nongkrong-nongkrong, datang ke kawinan aja sebaiknya dikurangi. Nggak boleh sering ketemu orang, pihak-pihak yang berperkara. Menurut kami masih banyak yang harus diperbaiki,” ucapnya.

Selanjutnya, Bivitri meminta, secara sistemik, hal yang perlu diperhatikan adalah metode pengawasan di dalam MK. Sebab, Komisi Yudisial (KY) yang punya kewenangan mengawasi hakim tidak dapat menyentuh hakim MK.

Hal ini menurutnya dapat disiasati dengan memasukkan unsur KY ke dalam Dewan Etik yang ada di MK. Menurutnya hal ini memungkinkan karena secara aturan tidak ada larangan mengenai hal tersebut.

“(Secara aturan) Bisa saja unsur unsur-unsur KY dimasukkan ke dalam Dewan Etik. Jadi secara peraturan tidak ada yang mengatakan dewan etik itu tidak boleh diisi KY. Cuma secara kelembagaan KY memang tidak boleh mengawasi hakim MK. Itu sudah ada putusannya,” tutur Bivitri.

Penguatan Dewan Etik ini juga harus didukung dengan menempatkan eselon yang lebih tinggi. Sehingga secara struktural dapat menindak bilamana ditemukan pelanggaran dari pegawai MK.

Bivitri menambahkan, saat ini tidak diperlukan adanya lembaga baru yang akan dapat menimbulkan konflik hukum yang baru lagi. Sebab, saat ini MK juga berposisinya sudah tinggi di ketatanegaraan Indonesia.

Hal lain yang perlu dilakukan untuk membentuk MK yang lebih kuat ialah agar memperketat rekrutmen. Menurutnya, secara regulasi diperlukan aturan agar hakim konstitusi tidak memiliki afiliasi politik. Ia menambahkan, dalam rekrutmen juga diperlukan memperhatikan rekam jejak dari calon.

“Lalu, untuk mencegah dari segi rekrutmen harus ketat banget. Jadi tadi sudah disebutkan, misalnya yang punya afiliasi politik paling kental, menurut kami lebih baik dihindari. Kalau perlu masukkan ke UU bahwa lima tahun sebelum dan sesudah menjadi hakim konstitusi tidak boleh berafiliasi politik. Harus keras dong,” jelas dia.

“Kan kita bisa lihat, dua-duanya ketangkep. Punya afilisasi politik. Nah, rekam jejaknya yang masuk juga harus kuat sekali menandakan dia punya integritas,” imbuh Bivitri. | DETIK

[ DETIK]



Sumber : Harian Publik - Banyak Pelanggaran, MK Diminta Naikkan Standar Kode Etik

0 Response to "Banyak Pelanggaran, MK Diminta Naikkan Standar Kode Etik"

Posting Komentar