TOP-LEFT ADS

Lho Ada yang Salah? Neraca Produksi Dan Konsumsi Beras Ala BI Harus Diulang

ilustrasi


Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun bukan selalu berarti sektor pertanian tidak berkembang.

"Pertumbuhan sektor industri dan jasa di banyak negara berkembang umumnya berkembang lebih pesat dibanding pertumbuhan di sektor pertanian. Hal ini tentu berakibat menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Nasional," jelas Kabiro Hukum dan Humas Kementan Agung Hendriadi saat dihubungi, Senin (3/4).

Sebagai contoh, Agung merilis data World Bank yang menyebut bahwa kontribusi PDB sejumlah negara menurun bila dibandingkan antara tahun 1995 dan 2014. Diantaranya Malaysia turun dari 12,9 persen menjadi 8,9 persen, Tiongkok 19,6 persen jadi 9,1, persen, Vietnam 27,2 persen jadi 17,7, persen, dan Kamboja 49,6 persen menjadi 30,5 persen.

Namun demikian, dia mengimbau agar masyarakat tidak perlu dikhawatirkan, penurunan kontribusi ini akan mengarah kepada situasi kurang pangan. Negara-negara tersebut, termasuk Indonesia membuktikan bahwa pada periode tersebut mampu mewujudkan kemandirian dalam produksi pangan bahkan sebagian di antaranya menjadi eksportir pangan.

Tak hanya berimbas pada PDB, lanjut Agung, serapan tenaga kerja juga terkena dampak perubahan ini. Diakui Agung serapan tenaga kerja untuk sektor pertanian di Indonesia menurun 55,1 persen di tahun 1991 menjadi 31,9 persen di tahun 2016. Meski demikian produksi pangan dalam negeri dijamin Agung aman karena dibarengi dengan peningkatan produktivitas dan luas lahan, termasuk di dalamnya pemanfaatan teknologi. Pemerintah, dalam hal ini, telah mengantisipasi dengan pemanfaatan 180 ribu alat mesin pertanian untuk mengurangi beban kerja petani dan meningkatkan  efisiensi produksi.

"Hal serupa juga terjadi di negara lain. Pada periode 1994 sampai dengan 2010, World Bank melaporkan tenaga kerja di sektor pertanian di negara Tiongkok turun dari 50 persen menjadi tiga persen, Thailand turun dari 56 persen menjadi 38 persen, dan Filipina 45 persen menjadi 33 persen," beber Agung.

Menurutnya, fakta lain yang menunjukkan produksi pangan meningkat adalah selama 32 tahun terhitung mulai 1984 hingga 2014, pembangunan pertanian Indonesia masih tergantung impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Kini, sepanjang 2015 sampai dengan 2016 Indonesia telah mampu meningkatkan produksi pangan strategis sehingga volume impor turun bahkan tidak impor untuk beras, bawang, dan cabai, serta impor jagung dapat ditekan 66 persen.

Secara rinci Agung menjelaskan, produksi komoditas strategis dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan. Diantaranya produksi padi naik 11 persen, jagung naik 21,8 persen, cabai naik 2,3 persen, dan bawang merah naik 11,3 persen. Peningkatan produksi komoditas unggulan peternakan, daging sapi naik 5,31 persen, telur ayam naik 13,6 persen, daging ayam naik 9,4 persen, dan daging kambing naik 2,47 persen. Begitu pun produksi komoditas perkebunan, tebu naik 14,42 persen, kopi naik 2,47 persen, karet 0,14 persen dan kakao naik 13,6 persen

Dia juga meminta agar Direktur Eksekutif Departemen Riset Kebijakan Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluya menghitung ulang neraca produksi dan konsumsi beras tanah air. Dody yang memprediksi konsumsi beras masyarakat Indonesia 203 kg per kapita per tahun di tahun 2020 menurut Agung salah. Tren dan hasil survei terbaru menunjukkan konsumsi beras masyarakat tahun 2014 113 kg per kapita per tahun dan cenderung menurun karena  salah satunya dipengaruhi oleh meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat dan secara keseluruhan meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI).

Lanjutnya, bila beberapa program pemerintah yang terkait dengan upaya untuk menekan inflasi pangan (volatile food inflation) dan meningkatkan kesejahteraan petani, diantaranya di tingkat produsen melalui pengendalian harga dengan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga dasar. HPP dan harga dasar tersebut ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan margin yang wajar diterima oleh petani agar terus berproduksi dan tidak mendongkrak inflasi. Di tingkat konsumen, Pemerintah menetapkan harga acuan pangan strategis melalui Permendag Nomor 63/2016. Penetapan harga acuan ini diharapkan mampu mengendalikan margin yang diterima oleh pedagang agar konsumen menerima harga yang wajar. Sebagai contoh, HPP untuk gabah kering panen Rp 3.700 per kilogram dan harga beras di pasar induk ditetapkan Rp 7.300 per kilogram.   

"Pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga telah melakukan pengendalian distribusi pangan dengan memangkas rantai pasok dari sembilan titik menjadi tiga titik, diantaranya dengan membangun Toko Tani Indonesia (TTI). Pada tahun 2016 telah terbangun TTI sebanyak 1.218 unit, dan tahun 2017 dalam proses pembangunan untuk 1000 unit TTI," ungkap Agung.

Upaya pengendalian harga melalui penetapan HPP, harga acuan, pemangkasan rantai pasok, dan kerja sama kemitraan penyerapan produksi dengan industri pangan/pakan diharapkan Agung mampu menekan tingginya inflasi pangan dan meningkatkan pertumbuhan produksi pangan dalam dua sampai tiga tahun ke depan.

sumber: rmol



Sumber : Harian Publik - Lho Ada yang Salah? Neraca Produksi Dan Konsumsi Beras Ala BI Harus Diulang

0 Response to "Lho Ada yang Salah? Neraca Produksi Dan Konsumsi Beras Ala BI Harus Diulang"

Posting Komentar